MAKALAH
SEJARAH PENULISAN HADITS
DAN
PERKEMBANGANNYA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Studi Hadits”
Disusun Oleh
Siti
Maulanah (D37211090)
Fatkhul
Alim (D77214031)
Irma
Rahma Yani (D77214033)
Lailatul
Nurul ayni (D07214007)
Kuny
Amalia (D77214037)
Nadia
Risya (D07214012)
Roista
Iindriani (D07214017)
Dosen Pembimbing
Drs.
H. Syukron Djazilan, M. Ag
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDA’IYAH
2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah serta inayah-Nya
sehingga pada kesempatan ini penulis masih diberikan kesehatan dan mampu untuk
menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat bermutiarakan salam senantiasa
tercurahkan pada beliau Nabi Muhammad SAW. Pembimbing kearah terang benderang
dan pembawa suri tauladan bagi umat manusia.
Makalah
yang bertemakan ”Sejarah
Penulisan Hadits dan Perkembangannya”, disusun berdasarkan
buku-buku dan informasi yang berkaitan secara langsung dengan pembahasan.
Disamping itu, makalah ini bertujuan untuk memenuhi Tugas mata kuliah Studi
Hadits yang merupakan salah satu komponen mata kuliah umum yang wajib dipenuhi
oleh penulis.
Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bpk
Drs. H. Syukron Djazilan, M. Ag selaku
Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis
dalam penyusunan makalah ini.
2.
Kepada semua
pihak yang terlibat dalam penulisan makalah dan telah memberikan semangat dan
juga dorongan kepada penulis.
Akhirnya
kata, penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Suatu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi tercapainya
kesempurnaan yang hakiki. Dan semoga
makalah ini senantiasa bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis
Surabaya, November 2014
Penulis
Daftar isi
KATA
PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR
ISI............................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah............................................ 1
1.2 Rumusan masalah...................................................... 1
1.3 Tujuan...................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Pro dan Kontra Penulisan Hadits ......................... 2
2.2 Hadist Pada Masa Rasulullah Saw
Dan
Para Sahabat..................................................... 5
2.3 Hadist Pada Masa Kodifikasi................................ 8
2.4 Hadist Pada Masa Pasca Kodifikasi.................. 10
BAB
III PENUTUP
3.1
Kesimpulan............................................................. 13
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Setelah
Rasulullah wafat, Al-Qur’an mulai dibukukan dan pembukuan secara keseluruhan
selesai pada khalifah Utsman bin Affan. Muhadditsun tertuntut untuk memulai
pembukuan hadits dengan beberapa alasan tertentu baik yang kontra maupun yang
pro untuk penulisannya. Untuk itu pada makalah ini dibahas tentang sejarah
perkembangannya.
Hadist ialah
sesuatau yang bersumber dari Nabi baik itu berupa ucapan, perbuatan, maupun
ketetapan-Nya. Sama hal-nya dengan Al-Qur’an, hadist juga mempunyai sebuah
sejarah. Meskipun pada awalnya seperti yang kita ketahui bahwa penulisan hadist
itu di larang oleh Nabi. Tapi lama-kelamaan Nabi juga memerintahkannya. Dan
pada sususnan hadist yang ada pada masa sekarang itu tidaklah semua bersifat
mutawatir dan dapat di jadikan pegangan
melainkan ada yang bersifat dho’if bahkan palsu. Maka dalam makalah ini
akan di ulas mengenai sejarah kelahiran sebuah hadist dan
perkembangannya,sampai dengan hadist pada masa sekarang. berikut
macam-macamnya.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
Pro dan kontra penulisan hadits?
2.
Bagaiman
proses penulisan hadits pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat?
3.
Bagaiman
proses penulisan hadits pada masa kodifikasi?
4.
Bagaiman
proses penulisan hadits pada masa pasca kodifikasi?
1.3
TUJUAN
1.
Mahasiswa
dapat mengetahui Pro dan kontra penulisan hadits.
2.
Mahasiswa
dapat mengetahui proses penulisan hadits pada masa Rasulullah SAW dan para
sahabat.
3.
Mahasiswa
dapat mengetahui proses penulisan hadits pada masa kodifikasi.
4.
Maha
siswa dapat mengetahui proses penulisan
hadits pada masa pasca kodifikasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pro dan Kontra Penulisan Hadits
Dari beberapa
catatan tentang hadits pada masa Nabi saw, ada 2 hal penting yang perlu
dikemukakan. Yaitu, larangan menulis hadits dan perintah menulis hadits. Pada
awalnya Nabi saw melarang para sahabat untuk menulis hadits karena
dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits.
Namun demikian, harus pula dipahami
bahwa larangan itu tidak bersifat umum. Artinya larangan penulisan hadits itu
terkait dengan daya hafal masing-masing sahabat.[1]
Sedangkan
tentang perintah untuk menulis hadits Nabi saw, hal itu harus dipahami bahwa
dengan hilangnya kekhawatiran akan terjadi percampuran antara ayat Al-Qur’an
dengan hadits Nabi saw, maka dengan sendirinya larangan untuk menulis hadits
tersebut juga hilang. Dengan demikian, tidak ada yang perlu dikontradiksikan
antara larangan penulisan hadits disatu sisi dan perintah hadits pada sisi yang
lain.
Berbeda dengan
kajian versi Yahudi yang banyak transfer oleh pemikir Islam temporer yang
merujuk kepada referensi mereka bahwa yang diekspos hanyalah hadits- hadits larangan menulis, seperti sabda Nabi saw:
حَدَّثْنَا هَدَّابُ بْنُ خَا لِدٍ الأَزْدِىُّ حَدَّثْنَا هَمَّامٌ
عَنْ زَيْدِبْنِ اَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ
اْلحُدْرىِّ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَليهِ وَسَلم قَالَ: لاَتَكْبُوُا
عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Dinarasikan
Abu Sa’id al- Khudri ra., Rasulullah saw. Bersabda: janganlah anda menulis
haditsku, barang siapa yang menulis haditsku walaupun secuil selain dari pada
penulisan Al-Qur’an. Maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu (HR.
Muslim).
Hadits diatas merupakan hadits shahih
yang dikeluarkan imam Muslim. Maka dengan argumentasi hadits tersebut, mereka
memahami sebagai berikut:
1. Hadits
nabawi itu tidak perlu, yang diperlukan hanyalah Al-Qur’an. Kalau hadits itu
diperlukan tentu nabi juga memerintah sahabat untuk menulisnya sebagaimana
penulisan Al-Qur’an.
2. Tidak
perlunya hadits Nabawi didukung iformasi Al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad itu
adalah manusia biasa seperti kita, maka logikanya bukan hanya Nabi yang
memiliki otoritas dalam menafsirkan Al-Qur’an, akan tetapi semua manusia,
termasuk kita dewasa ini mempunyai liberalitas (kebebasan) dalam memahami
Al-Qur’an.
Seperti itulah pola pemikiran mereka
dalam memahami hadits- hadits Nabawi, berdalil dengan Al-Qur’an
secara sepotong.
Sekiranya hadits yang dinarasikan oleh
Abu Sa’id al-Khudri yang dikeluarkan oleh imam Muslim dinukilkan secara utuh
maka redaksinya sebagai berikut:
حَدَّثْنَا هَدَّابُ بْنُ
خَا لِدٍ الأَزْدِىُّ حَدَّثْنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِبْنِ اَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ
يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ اْلحُدْرىِّ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَليهِ وَسَلم
قَالَ: لاَتَكْبُوُا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وحَدُّثِوا
عَنِّ وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
Dinarasikan
Abu Sa’id al- Khudri ra., Rasulullah saw. Bersabda: janganlah anda menulis
haditsku, barang siapa yang menulis haditsku walaupun secuil selain dari pada
penulisan Al-Qur’an. Maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu.
Sekarang, silahkan kalian menulis haditsku tanpa ada rasa bersalah. Barang
siapa yang berdusta atas nama saya maka hendaknya ia mempersiapkan tempatnya di
api neraka. (HR. Muslim)
Dengan penukilan hadits yang sempurna
seperti diatas, sepertinya dapat dianalisa, kapan atau dalam kondisi apa Nabi
melarang menulis haditsnya dan dalam kondisi apa justru Nabi menyuruh para
sahabat untuk menulis haditsnya sehingga dapat diketahui, inti dari larangan
Nabi adalah dikhawatirkan terjadinya pendustaan terhadap Pribadi Nabi saw.
Seperti itu pula ketika manukil ayat
Al-Qur’an, sekiranya jujur maka penukilan ayat yang utuh (bukan sepotong)
adalah berikut:
قُلْ إِنَّمَا
أَنَابَشَرٌمِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ
كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِرَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah
wahai Muhammad: Sesungguhnya saya adalah manusia biasa seperti kalian semua,
namun diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa. Maka
barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, supaya ia beramal
shalih dan tidak menyukutukan Dia dengan sesuatu apapun dalam beribadah
kepada-Nya. (QS. Al-Kahfi:110)
Dengan demikian dapat difahami, secara
kodrati memang Nabi Muhammad adalah sosok manusia biasa seperti kita, namun
yang beliau sampaikan adalah berdasar kepada wahyu. Hal seperti inilah yang
mereka sembunyikan sehingga menafikan status hadits sebagai wahyu sebagaimana
Al-Qur’an.
Disamping hadits perintah diatas, masih
banyak lagi hadits-hadits perintah yang disembunyikan oleh Yahudi. Seperti pola
dakwah Nabi pada akhirnya tidak mengandalkan oral (lisan), melainkan
mengandalkan tulisan sebagaimana surat-surat dakwah Rasulullah saw. Kepada para
penguasa Romawa, Iliyah, persia, termasuk kepada para raja Najasi.
Munculnya berbagai dokumen hadits
seperti naskah penyerangan kepada kaum kafir muharib, risalah zakat, dsb. Semua
itu bukti konkret hadits telah ditulis oleh banyak sahabat walaupun masih
secara individu.
Pada masa sahabat, kondisi hadits tidak
banyak berkembang seperti halnya pada masa Nabi saw. Kalau pada masa Nabi saw.
Larangan penulisan hadits karena adanya kekhawatiran terjadinya percampuran
antara ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, maka pada masa sahabat, tidak
berkembangnya penulisan hadits karena adanya kekhawatiran akan
dikesampingkannya Al-Qur’an.
Seperti diketahui, setelah meninggalnya Nabi saw. Merupakan masa
transisi yang menyisakan berbagai macam persoalan internal umat Islam, diantaranya
adalah masalah Khilafah dan belum dibukukannya Al-Qur’an. Keadaan ini
sudah barang tentu menyulitkan para sahabat sehingga belum terpikirkan secara
serius untuk membukukan hadits, Al-Qur’an saja belum dibukukan. Karena itulah,
dapat dipahami bahwa pada masa kekhilafahan Abu bakar al-shiddiq, langkah
pertama adalah membukukan Al-Qur’an,
kemudian baru hadits.
2.2 Hadist Pada Masa Rasulullah Saw dan Para Sahabat
Pada periode ini disebut Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin (masa
turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam).[2] Pada
periode inilah hadist lahir berupa sabda (aqwal) af’al dan taqrir Nabi
yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakkan syari’at Islam dan
membentuk masyarakat Islam.
Pada periode Rosulullah SAW pengkodifikasian hadits belum terlalu
di perhatikan secara khusus oleh para Sahabat. Para Sahabat lebih banyak
mencurahkan diri dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an meskipun dengan prasarana
yang sederhana. Hadist pada masa itu oleh para Sahabat lebih banyak untuk di
hafal beserta pengamalan. Mengapa sampai ada sahabat yang mempunyai periwayatan
yang sangat banyak. Konsepnya sederhana
“kami menghafalnya dengan langsung mengamalkannya” karena penyusunan
redaksi Hadits dapat di lakukan dengan pemaknaan saja tidak seperti Al-Qur’an
yang harus dengan lafadnya.
Meskipun kodifikasi hadits belum mendapatkan perhatian khusus dari
para sahabat, Rasulullah menaruh perhatian yang sangat besar dalam aspek pengembangan ilmu pengetahuan.
‘ajjaj al-khatib dalam bukunya Al-Sunnah qabl al- Tadwin menyebutkan
tentang sikap Rasulullah saw terhadap ilmu pengetahuan. Sikap ini sejalan
denngan wahyu pertama yang diturunkan olah Allah swt kepada beliau, yaitu surat
al-alaq ayat 1-5 yang intinya adalah perintah untuk membaca.[3]
Diantara bentuk sikap Rasulullah saw terhadap ilmu pengetahuan
adalah: seruan Rasulullah saw untuk mencari ilmu pengetahuan, seruan Rasulullah
untuk menyampaikan ilmu, kedudukan orang yang mengajar ilmu pengetahuan
(ulama’), kedudukan orang yang mencari ilmu, dan wasiat Rasulullah saw untuk
menyebarluaskan ilmu pengetahuan.[4]
Penulisan hadist yang terjadi pada masa Rasulallah adalah bersifat
individual. Mereka yang telah mempunyai kemampuan menulis melakukannya
sendiri-sendiri, seperti yang di lakukan Ibn Umar. Itulah sebabnya ditemukan
kesaksian dari pernyataan Abu Hurairah: Ibn Umar telah memiliki tulisan hadits,
namun saya belum mulai menulisnya. Sebagian sahabat mengangkat juru tulis
seperrti yang dilakukan oleh Abu Hurairah yang mengangkat Hammam sebagai
sekretaris pribadinya.
Dan tentunya tidak semua hadist mereka tulis, melainkan
hadist-hadist yang di pandang terlalu panjang dan spesifik. Itulah sebabnya
ketika Abu bakar menginstruksikan untuk memerangi kaum murtad, umar
menginterupsikannya: menurut catatan saya, Nabi diperintah untuk memerangi umat
sampai mereka berikrar tiada tuhan selain Allah. Apabila mereka telah
mengatakannya maka terjagalah darahnya, hartanya dan harga dirinya. Maka Abu
Bakar berkomentar: catatan anda belum sempurna, kelanjutannya adalah: kecuali dengan
haknya.
Hadits yang panjang-panjang pun selalu ditulis oleh para sahabat,
seperti hadits tentang ketentuan zakat yang hendak dikirim kepada Abu musa
al-As’ari yang yang pada waktu itu didelegasikan oleh Nabi ke yaman, memohon
agar ketentuan zakat itu dituliskan. Maka sebelum tulisan hadits zakat itu
dikirim ke yaman oleh umar dinukil kembali untuk diarsip terlebih dahulu
sehingga Umar ibn Khattab dikenal dengan bapak pengarsipan dokumen.
Disamping itu pola dakwah Rasulullah diakhir hayatnya berubah, tidak
lagi menggunakan oral (lisan) sebagai medianya, melainkan berganti pola
tulisan. Hal ini terbukti ajakannRasulullah menuju keislaman kepada penguasa
Romawi, Illayah, bizantium, persia, Najazi dan lainnya. Atas usulan Abu Sufyan,
maka surat-surat itu diberi stempel. Maka Nabi pun minta dibuatkan stempel
(khatam).
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadist tersebar
secara terbatas. Bahkan pada masa itu, Umar melarang para Sahabat untuk
memperbanyak meriwayatkan Hadist dan sebaliknya, Umar menekankan agar para
Sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluakan Al-Qur’an.[5]
Dalam praktiknya ada dua cara meriwayatkan pada masa Sahabat
tersebut :
1.
Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang
mereka terima langsung dan mereka hafal benar dari Nabi SAW.
2.
Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan
maknanya karena tidak hafal lafadz asli dari Nabi SAW.[6]
Pendek kata, setelah para Sahabat mulai pandai
soal tulis menulis, dan dapat membedakan antara firman Allah dengan sanda Nabi,
maka gerakan penulisan begitu marak, sehingga pada akhirnya Nabi berwasiat: Saya
tinggalkan dua tumpukan tulisan ini, yakni tumpukan tulisan Al-Qur’an dan
Hadist. Sekali lagi, pada wilayah kodifikasinya secara resmi yang berbeda.
Apabila kodifikasi berupa mushaf, memang baru terjadi pada masa khalifah Abu
bakar, namun kodifikasi hadits yang resmi menurut pendapat yang mashur tterjadi
pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz (99-102 H)
Meskipun secara khusus hadits belum mendapatkan
perhatian yang serius, namun kegiatan periwayatan hadits sudah mulai berkembang
meskipun dengan jumlah yang sedikit. Hal ini karena Abu Bakar, Umar juga 2 khalifah
terakhir sangat berhati-hati dalam menerima periwayatan sahabat lain, termasuk
periwayatan dari Abu Hurairah yang dalam hal periwayatan Hadits dikenal sebagai
sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Sikap hati-hati ini dilakukan untuk mencegah
banyak beredarnya hadits palsu unutk kepentingan tertentu yang terjadi,
khususnya pada saat mulai terjadinya friksi dalam tubuh Islam, sejak tahun ke
tujuh pada pemerintahan khalifah Utsman ibn Affan. Dengan demikian jumlah
periwayatan hadits pada masa sahabat masih sangat sedikit, meskipun tergolong
banyak apabila dibandingkan dengan jumlah penulisan hadits pada periode Nabi
saw. Dapat dikatakan bahwa hadits dalam periodeini adalah membatasi
periwayatannya.
Maka
harus dibedakan, antara konsep al- Khitabah atau penulisan, dan konsep al-
Tadwin atau kodifikasi. Pada refrensi
barat tampaknya tidak memilah kedua hal tersebut, terkesan hadits baru
ditulis (padahal dikodifikasi) baru abad kedua. Ini kesalahan yang fatal karena
kodifikasi yang resmi pada akhir abad pertama atau awal abad kedua (99-102),
bukan setelah dua ratus tahun.
2.3
Hadist Pada Masa Kodifikasi
Seiring dengan program Khalifah Umar Ibn Khottob meluaskan peta
dakwah Islam, membuat pera Sahabat terpencar ke berbagai wilayah. Dan maraka
para Sahabat telah mempunyai pegangan hadist baik berupa tulisan maupun hafalan
ke tempat penugasan masing-masing. Sehingga di berbagai wilayah bermunculan Islamic
Centre sebagai pusat kajian Al-Qur’an dan Hadist.
Pasca wafatnya Uamar Bin Khattab, kebijakan itu di lanjutkan oleh
Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, sehingga untuk menguasai
hadist-hadist Nabi pada waktu itu tidaklah mudah. Seseorang harus melakukan
rihlah dari berbagai wilayah untuk menemui para Sahabat dan kader-kadernya.
Pada masa inilah lahir Ulama’ Madzhab, sehingga bukan mustahil saat
di tanya suatu persoalan , mereka belum menemukan hadist yang spesifik, dan
ahirnya memberikan jawaban dengan pendekatan ijtihad murni yang konsekwensinya
bisa benar dan bisa salah. Dan seperti yang kita tau jika pengkodifikasian
muskhaf itu pada masa Khalifah Abu Bakar maka pengkodifikasian hadist itu terealisasikan
pada masa Umar bin Abdul Aziz.
Dan pada waktu itu di bawah kekuasaan Umar bin Abdul Aziz, beliau
meresa perlu untuk membukukan hadist dikarnakan para Sahabat (sisa Sahabta yang
masih hidup) mulai terpencar di berbagai wilayah kekuasaan Islam, dan tidak
sedikit yang meninggal dunia. Keadaan ini membuat Khalifa Umar bin Abdul Aziz
tergerak untuk membukukan hadist.[7]
Untuk merealisasikan kenyataan di atas, Khalifah menyuruh atau
mengintruksikan kepada gubernur Madinah ya’ni Abu Bakar bin Muhammad untuk
mengumpulkan hadist apa adanya. Khalifah juga mengirim surat-suratnya keseluruh
wilayah Islam supaya berusaha membukukan hadist yang ada pada ulama’ yang
berdomisili di wilayah masing-masing. Diantara ulama’ besar yang membukukan
hadist atas kemauan Khalifah itu adalah Ibn Sihab al-Zuhri. Itulah sebabnya
para ahli sejarah menganggap Ibn Sihab sebagi orang pertama mendiwankan hadist
secar resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[8] Dan intrusi Umar inilah ahirnya di
lanjutkan oleh ulama’ hadist yang lain.
Munculnya tradisi perlawatan-perlawatan untuk mencari hadist ini
sangat penting, artinya, sebab pada masa itu sujdah mulai banyak beredar hadist
palsu. Dengan demikian, pencarian yang di lakukan bukan
hanya semata-mata untuk mendapatkan hadist, tetapi juaga sekaligus untuk menghindari terjadinya
hadist palsu yang di riwayatkan oleh orang yang tidak bertanggung;jawab. Dengan
pencarian ini pula, satu riwayat di cocokan validitasnya dengan riwayat yang
lain sehingga dapat di ketahui mana hadits yang betul-betul datangnya dari Nabi
SAW. Dan mana yang bukan. Konfirmasi riwayat setidaknay berhasil untuk
meminimalisir upaya terjadinya pemalsuan hadist.
2.4 Hadist Pada Masa Pasca Kodifikasi
Suatu hal yang perlu dicatat dari upaya pembukuan hadits tahap awal
adalah masih tercampurnya antara hadits Nabi saw dengan berbagai fatwa sahabat
dan tabi’in . hanya catatan ibn Hazm yang secara lkhusus menghimpun hadits Nabi
saw. Karena khalifah Umar ibn ‘Abdul Aziz mennginstruksikan kepadanya untuk
hanya menulis hadits. Hanya saja, sangat disayangkan bahwa manuskrip Ibn Hazm
tersebut tidak sampai kepada generasi sekarang. Namun demikian, pada masa ini
pula lahir ulama’ hadits kenamaan seperti imam malik, sufyan al-tsauri, al-
Auza’iy, al- safi’i dan lainnya. Kitab-kitab hadits yang terkenal pada abad ini
diantaranya adalah: muwatta’ karya imam malik, musnad dan mukhatalif hadits
karya al syafi’i. Kitab-kitab ini terus menjadi bahan kajian sampai sekarang.
Pada permulaan abad ke 3H, para ulama’ berusaha untuk memilah atau
menyisihkan antara hadist dengan fatwa sahabat atau tabi’in. Oleh akrna itu
para ulama’ banyak yang menyusun kitab-kitab musnad yang ebas dari fatwa para
sahabat dan tabi’in.
Meskipun demikian, upaya untuk membukukan sebuah hadist dalam kibab
musnad ini bukan tanpa kelemahan. Salah satu kelemahan yang di dapat di ungkap
adalh belum di sisihkannya hadis-hadist, termasuk hadist palsu yang sengaja di
sisipkan untuk kepentingan-kepentingan golongan tertentu.
Melihat kelemahan di atas ulama’ hadist tergerak untuk
menyelamatkan hadist dengan membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat menilai
kesahihan suatu hadist.Dengan pembuatan kaidah-kaidah tersebut maka muncullah
yang di sebut ilmu dirayah dan ilmu riwayah hadist. Dan sebagai
konsekwensinya dari upaya pemilahan hadist sahih, hasan, dhaif dan palsu
tersebut, maka di susunlah kitab-kitab himpunan khusus hadist sahih dan
kitab-kitab al-Sunan.
Abad ke 3H ini lazim disebut dengan abad atau periodesasi seleksi
dan penyusunan kaidah serta syarat periwayatan hadist yang melahirkan sejumlah
karya monumental dalam bidang hadist, seperti shahih Al-Bukhori, Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Turmudzi, Sunan An-Nasa’i dan lainnya.
Hal ini yang patut di cermati dari perkembangan study hadist pada
abad ini adalah mulai berkembangnya ilmu kritik terhadap para perawi hadist
yang di sebut ilmu jahr wa ta’dil. Dengan ilmu ini maka dapat di ketahui
siapa perawi yang dapat di terima riwayatnya dan siapa yang di tolak.
Adapun tokoh-tokoh yang lahir pada abad ini di antaranya :
1.
Ali
Ibn Al-Madani
2.
Abu
Hatim Al-Razi
3.
Muhammad
Ibn Jarir At-Tabari
4.
Muhammad
Ibn Sa’ad
5.
Ishaq
Ibn Rawakhih
6.
Ahmad
7.
Al-Bukhori
8.
Abu
Dawud
9.
Al-Turmudzi
10.
Ibn
Majah dan
11.
Ibn
Qutaibah Al-Dainuri
Sedangkan
kitab-kitab yang muncul pada abad ini diantaranya adalah Al-Kutub Sittah (kiatb
enam yang pokok) yaitu: Sahih Al-Bukhori, Sahih Muslim, Sunan Al-Nasa’i,
Sunan Abu Dawud, Sunan At-Turmudzi, dan Sunan Ibn Majah.
Kalau pada aad
pertama, kedua dan ketiga hadits berturut-turut mengalami masa periwayatan,
penulisan dan penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, maka
hadits yang telah dibukukuan oleh para ulama’ mutaqaddimin tersebut
mengalami sasaran baru yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama’ muta’akhkhirin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits sehingga tidak
mengherankan apabila sebagian diantara mereka mampu menghafal beratus-ratus
ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam
ilmu hadits seperti al-hakim, al-hafidz dan sebagainya.[9]
Pada abad
selanjutnya merupakan abad pemisah antara periode ulama’ mutaqaddimin
dengan ulama’ muta’akhkhirin ini melahirkan sejumlah kitab-kitab hadits
opuler. Diantaranya adalah : mu’jam al- kabir, mu’jam al-Ausat, mu’jam
al-shaghir (karya thabrani), sunan al- Daraqutniy, shahih anu ‘uwanah,
dan shahih ibn khuzaymah. Secara kongkret, Hasbi ash-shiddiqiey menyebutkan
abad ini sebagai abad tahdzib, istidrak, istikhraj, menyusun jawami’,
zawaid dan athraf.[10]
Usaha ulama’
pada abad selanjutnya sampai sekarang adalah pengklasifikasian hadist-hadist
yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab.
Kemudian di lanjutkan dengan menyusun ma’ajim hadist untuk mengetahui
dari kitab apa sebuah hadist itu di temukan. Misalnya kitab Al-Jami’ As-Saghirfi
Ahadist Al-Basyir Al-Nadzir karya Al-Suyuti. Kitab itu di susun memuat
hadist-hadist yang terdapat dalam kitab Al-Kutub As-Sittah dan kitab
hadist lainnya. Kedua kitab Dakhoir Al-Mawaris fi Al-Dalalah ‘ala Mawad
Al-Ahadist karya Al-Maqdisi. Didalamnaya terkumpul kitab atraf tujuh ulama’
yaitu Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Sunan empat dan Muwatto’ Imam
Malik. Dan masih banyak lagi kitab-kitab index kecil yang lain.
Adapun kegiatan
ulama’ selanjutnya ialah memberi pensyarahan dan peringkasan juga melahirkan
kamus-kamus khusus kajian hadist yang tertuang dalam salah satu di siplin
keilmuan yang biasa di sebut ilmu Gharibil hadist.denagn demikian kajian
hadist telah ,eli[uti berbagai aspek, dari sisi sanad sampai kepada matan
hadist.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pentingnya untuk mengetahui lebih dalam mengenai sejarah perkembangan
hadist adalah suatu yang menjadi fardhu kifayah hukumnya, di karnakan
hadist adalah sumber poko’ ajaran agama islam yang ke dua setelah Al-Qur’an.
Pada mulanya Nabi memang melarang untuk menulis hadist di karnakan rasa
khawatir akan bercampurnya hadist dengan Al-Qur’an. Tapi setelah itu Nabi pun
mengizinkannya. Adapun periode-periode sejarah perkembangan hadist itu dapat di
bagi menjadi beberapa bagian yakni:
1. Perkembangan hadist pada masa Rosulallah
2. Perkembangan hadist pada masa Sahabat dan
Khilafah Ar-Rosyidun
(11
H-40 H)
3. Perkembangan pada masa Sahabat kecil dan
Tabi’in
4. Perkembangan hadist pada Abad II dan III
Hijriah
5. Masa men-tashih-kan hadist dan
penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Dan dari
periode-periode tersebut hadist mulai mengalami fase-fase perkembangan. Abad
pertama kedua dan ketiga hadist berturut-turut mengalami masa periwayatan,
penulisan dan penyaringan dari fatwa-fatwa para Sahabat dan Tabi’in, maka pada
periode selanjutnya perkembangan hadist mulai mengalami sasaran baru, yakni di
hafal dan di selidiki sanadnya oleh para Ulama’Muta’akhirin (Ulama’ abad
ke 4 dan seterusnya). Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya
hadist. Sehingga pada periode inilah
muncul berbagai macam gelar keahlian dalam ilmu hadist seperti Al-Hakim,
Al-Hafidz, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. M.
Agus Solahuddin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag. 2008. Ulumul Hadist, Bandung:
Pustaka Setia,
Fatchurrahman.
1987. Ikhtishar Musthalahul Haadist. Bandung: Al-Ma’arif
Khafib,
Muhammad ‘Ajjaj al-. 1989. Ushul al- hadith ‘Ulumuh wa Mustalahuh. Beirut:
Dar al- Fikr.
Shalih,
Subhi. 1988. ‘Ulum al- Hadith wa Mustalahuh. Beirut: Dar al- ‘Iim-Malayin
Tim
penyusun MKDP. 2011. Studi Hadits. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press
Zainuddin,
dkk. 2013. Studi Hadit. Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press
[1] Tim MKDP.Studi
Hadits (surabaya:2011) halm. 81
[2]. Barmawi
Umarie. Status Hadist sebagi Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Syamsiah.
1965. Hlm.13.
[3] Ajjaj al-
Khatib, al- Sunnah qabl al-Tadwin (Kairo: Maktabah Wahbah, 1963)
[4] Ibid 37-445
[5]. Ash-Shiddieqy.
hal.62.
[6]. Ibid.
Hlm. 63.
[7] . Rahman,
ihtishar,34.
[8] .
As-Shiddieqy,sejarah,79,: Rahman, ikhtisyar,35.
[9] Rahman,
Ikhtisar, 40
[10] Lihat
ash-shiddiqiy, sejarah 114
0 komentar :
Posting Komentar