jam

apakah anda menyukai ini?

Selasa, 09 Juni 2015

makalah " sejarah penulisan hadist "

MAKALAH
SEJARAH PENULISAN HADITS
DAN
PERKEMBANGANNYA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Studi Hadits”
uin+sunan+ampel+surabaya.jpg







Disusun Oleh
Siti Maulanah            (D37211090)
Fatkhul Alim             (D77214031)
Irma Rahma Yani     (D77214033)
Lailatul Nurul ayni   (D07214007)
Kuny Amalia             (D77214037)
Nadia Risya               (D07214012)
Roista Iindriani         (D07214017)

Dosen Pembimbing
                                      Drs. H. Syukron Djazilan, M. Ag                

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDA’IYAH
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah serta inayah-Nya sehingga pada kesempatan ini penulis masih diberikan kesehatan dan mampu untuk menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat bermutiarakan salam senantiasa tercurahkan pada beliau Nabi Muhammad SAW. Pembimbing kearah terang benderang dan pembawa suri tauladan bagi umat manusia.
Makalah yang bertemakan ”Sejarah Penulisan Hadits dan Perkembangannya”, disusun berdasarkan buku-buku dan informasi yang berkaitan secara langsung dengan pembahasan. Disamping itu, makalah ini bertujuan untuk memenuhi Tugas mata kuliah Studi Hadits yang merupakan salah satu komponen mata kuliah umum yang wajib dipenuhi oleh penulis.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1.      Bpk Drs. H. Syukron Djazilan, M. Ag  selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini.
2.        Kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah dan telah memberikan semangat dan juga dorongan kepada penulis.
Akhirnya kata, penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Suatu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi tercapainya kesempurnaan yang  hakiki. Dan semoga makalah ini senantiasa bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis
Surabaya,   November 2014


Penulis       

Daftar isi
KATA PENGANTAR.............................................................................    i
DAFTAR ISI............................................................................................     ii
BAB I             PENDAHULUAN
1.1    Latar belakang masalah............................................    1         
1.2    Rumusan masalah......................................................    1
1.3    Tujuan......................................................................       1
BAB II            PEMBAHASAN
                        2.1    Pro dan Kontra Penulisan Hadits  .........................   2
                        2.2    Hadist Pada Masa Rasulullah Saw
         Dan Para Sahabat.....................................................   5
                        2.3    Hadist Pada Masa Kodifikasi................................     8         
                        2.4    Hadist Pada Masa Pasca Kodifikasi..................         10       
BAB III          PENUTUP
3.1  Kesimpulan.............................................................        13       
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................       14

 BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Setelah Rasulullah wafat, Al-Qur’an mulai dibukukan dan pembukuan secara keseluruhan selesai pada khalifah Utsman bin Affan. Muhadditsun tertuntut untuk memulai pembukuan hadits dengan beberapa alasan tertentu baik yang kontra maupun yang pro untuk penulisannya. Untuk itu pada makalah ini dibahas tentang sejarah perkembangannya.
Hadist ialah sesuatau yang bersumber dari Nabi baik itu berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan-Nya. Sama hal-nya dengan Al-Qur’an, hadist juga mempunyai sebuah sejarah. Meskipun pada awalnya seperti yang kita ketahui bahwa penulisan hadist itu di larang oleh Nabi. Tapi lama-kelamaan Nabi juga memerintahkannya. Dan pada sususnan hadist yang ada pada masa sekarang itu tidaklah semua bersifat mutawatir dan dapat di jadikan pegangan  melainkan ada yang bersifat dho’if bahkan palsu. Maka dalam makalah ini akan di ulas mengenai sejarah kelahiran sebuah hadist dan perkembangannya,sampai dengan hadist pada masa sekarang. berikut macam-macamnya.
1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Pro dan kontra penulisan hadits?
2.      Bagaiman proses penulisan hadits pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat?
3.      Bagaiman proses penulisan hadits pada masa kodifikasi?
4.      Bagaiman proses penulisan hadits pada masa pasca kodifikasi?
1.3  TUJUAN
1.      Mahasiswa dapat mengetahui Pro dan kontra penulisan hadits.
2.      Mahasiswa dapat mengetahui proses penulisan hadits pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat.
3.      Mahasiswa dapat mengetahui proses penulisan hadits pada masa kodifikasi.
4.      Maha siswa dapat mengetahui proses penulisan hadits pada masa pasca kodifikasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pro dan Kontra Penulisan Hadits
Dari beberapa catatan tentang hadits pada masa Nabi saw, ada 2 hal penting yang perlu dikemukakan. Yaitu, larangan menulis hadits dan perintah menulis hadits. Pada awalnya Nabi saw melarang para sahabat untuk menulis hadits karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits. Namun demikian, harus  pula dipahami bahwa larangan itu tidak bersifat umum. Artinya larangan penulisan hadits itu terkait dengan daya hafal masing-masing sahabat.[1]
Sedangkan tentang perintah untuk menulis hadits Nabi saw, hal itu harus dipahami bahwa dengan hilangnya kekhawatiran akan terjadi percampuran antara ayat Al-Qur’an dengan hadits Nabi saw, maka dengan sendirinya larangan untuk menulis hadits tersebut juga hilang. Dengan demikian, tidak ada yang perlu dikontradiksikan antara larangan penulisan hadits disatu sisi dan perintah hadits pada sisi yang lain.
Berbeda dengan kajian versi Yahudi yang banyak transfer oleh pemikir Islam temporer yang merujuk kepada referensi mereka bahwa yang diekspos hanyalah hadits- hadits larangan menulis, seperti sabda Nabi saw:
حَدَّثْنَا هَدَّابُ بْنُ خَا لِدٍ الأَزْدِىُّ حَدَّثْنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِبْنِ اَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ اْلحُدْرىِّ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَليهِ وَسَلم قَالَ: لاَتَكْبُوُا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Dinarasikan Abu Sa’id al- Khudri ra., Rasulullah saw. Bersabda: janganlah anda menulis haditsku, barang siapa yang menulis haditsku walaupun secuil selain dari pada penulisan Al-Qur’an. Maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu (HR. Muslim).
Hadits diatas merupakan hadits shahih yang dikeluarkan imam Muslim. Maka dengan argumentasi hadits tersebut, mereka memahami sebagai berikut:
1.      Hadits nabawi itu tidak perlu, yang diperlukan hanyalah Al-Qur’an. Kalau hadits itu diperlukan tentu nabi juga memerintah sahabat untuk menulisnya sebagaimana penulisan Al-Qur’an.
2.      Tidak perlunya hadits Nabawi didukung iformasi Al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad itu adalah manusia biasa seperti kita, maka logikanya bukan hanya Nabi yang memiliki otoritas dalam menafsirkan Al-Qur’an, akan tetapi semua manusia, termasuk kita dewasa ini mempunyai liberalitas (kebebasan) dalam memahami Al-Qur’an.
Seperti itulah pola pemikiran mereka dalam memahami hadits- hadits Nabawi, berdalil dengan Al-Qur’an secara sepotong.
Sekiranya hadits yang dinarasikan oleh Abu Sa’id al-Khudri yang dikeluarkan oleh imam Muslim dinukilkan secara utuh maka redaksinya sebagai berikut:
حَدَّثْنَا هَدَّابُ بْنُ خَا لِدٍ الأَزْدِىُّ حَدَّثْنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِبْنِ اَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ اْلحُدْرىِّ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَى اللهِ عَليهِ وَسَلم قَالَ: لاَتَكْبُوُا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ      وحَدُّثِوا عَنِّ وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Dinarasikan Abu Sa’id al- Khudri ra., Rasulullah saw. Bersabda: janganlah anda menulis haditsku, barang siapa yang menulis haditsku walaupun secuil selain dari pada penulisan Al-Qur’an. Maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu. Sekarang, silahkan kalian menulis haditsku tanpa ada rasa bersalah. Barang siapa yang berdusta atas nama saya maka hendaknya ia mempersiapkan tempatnya di api neraka. (HR. Muslim)
Dengan penukilan hadits yang sempurna seperti diatas, sepertinya dapat dianalisa, kapan atau dalam kondisi apa Nabi melarang menulis haditsnya dan dalam kondisi apa justru Nabi menyuruh para sahabat untuk menulis haditsnya sehingga dapat diketahui, inti dari larangan Nabi adalah dikhawatirkan terjadinya pendustaan terhadap Pribadi Nabi saw.
Seperti itu pula ketika manukil ayat Al-Qur’an, sekiranya jujur maka penukilan ayat yang utuh (bukan sepotong) adalah berikut:
قُلْ إِنَّمَا أَنَابَشَرٌمِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِرَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah wahai Muhammad: Sesungguhnya saya adalah manusia biasa seperti kalian semua, namun diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa. Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, supaya ia beramal shalih dan tidak menyukutukan Dia dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya. (QS.  Al-Kahfi:110)
Dengan demikian dapat difahami, secara kodrati memang Nabi Muhammad adalah sosok manusia biasa seperti kita, namun yang beliau sampaikan adalah berdasar kepada wahyu. Hal seperti inilah yang mereka sembunyikan sehingga menafikan status hadits sebagai wahyu sebagaimana Al-Qur’an.
Disamping hadits perintah diatas, masih banyak lagi hadits-hadits perintah yang disembunyikan oleh Yahudi. Seperti pola dakwah Nabi pada akhirnya tidak mengandalkan oral (lisan), melainkan mengandalkan tulisan sebagaimana surat-surat dakwah Rasulullah saw. Kepada para penguasa Romawa, Iliyah, persia, termasuk kepada para raja Najasi.
Munculnya berbagai dokumen hadits seperti naskah penyerangan kepada kaum kafir muharib, risalah zakat, dsb. Semua itu bukti konkret hadits telah ditulis oleh banyak sahabat walaupun masih secara individu.
Pada masa sahabat, kondisi hadits tidak banyak berkembang seperti halnya pada masa Nabi saw. Kalau pada masa Nabi saw. Larangan penulisan hadits karena adanya kekhawatiran terjadinya percampuran antara ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, maka pada masa sahabat, tidak berkembangnya penulisan hadits karena adanya kekhawatiran akan dikesampingkannya Al-Qur’an.
Seperti diketahui,  setelah meninggalnya Nabi saw. Merupakan masa transisi yang menyisakan berbagai macam persoalan internal umat Islam, diantaranya adalah masalah Khilafah dan belum dibukukannya Al-Qur’an. Keadaan ini sudah barang tentu menyulitkan para sahabat sehingga belum terpikirkan secara serius untuk membukukan hadits, Al-Qur’an saja belum dibukukan. Karena itulah, dapat dipahami bahwa pada masa kekhilafahan Abu bakar al-shiddiq, langkah pertama adalah  membukukan Al-Qur’an, kemudian baru hadits.
2.2 Hadist Pada Masa Rasulullah Saw dan Para Sahabat
Pada periode ini disebut Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam).[2] Pada periode inilah hadist lahir berupa sabda (aqwal) af’al dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakkan syari’at Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Pada periode Rosulullah SAW pengkodifikasian hadits belum terlalu di perhatikan secara khusus oleh para Sahabat. Para Sahabat lebih banyak mencurahkan diri dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an meskipun dengan prasarana yang sederhana. Hadist pada masa itu oleh para Sahabat lebih banyak untuk di hafal beserta pengamalan. Mengapa sampai ada sahabat yang mempunyai periwayatan yang sangat banyak. Konsepnya sederhana  “kami menghafalnya dengan langsung mengamalkannya” karena penyusunan redaksi Hadits dapat di lakukan dengan pemaknaan saja tidak seperti Al-Qur’an yang harus dengan lafadnya.
Meskipun kodifikasi hadits belum mendapatkan perhatian khusus dari para sahabat, Rasulullah menaruh perhatian yang sangat besar  dalam aspek pengembangan ilmu pengetahuan. ‘ajjaj al-khatib dalam bukunya Al-Sunnah qabl al- Tadwin menyebutkan tentang sikap Rasulullah saw terhadap ilmu pengetahuan. Sikap ini sejalan denngan wahyu pertama yang diturunkan olah Allah swt kepada beliau, yaitu surat al-alaq ayat 1-5 yang intinya adalah perintah untuk membaca.[3]
Diantara bentuk sikap Rasulullah saw terhadap ilmu pengetahuan adalah: seruan Rasulullah saw untuk mencari ilmu pengetahuan, seruan Rasulullah untuk menyampaikan ilmu, kedudukan orang yang mengajar ilmu pengetahuan (ulama’), kedudukan orang yang mencari ilmu, dan wasiat Rasulullah saw untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan.[4]
Penulisan hadist yang terjadi pada masa Rasulallah adalah bersifat individual. Mereka yang telah mempunyai kemampuan menulis melakukannya sendiri-sendiri, seperti yang di lakukan Ibn Umar. Itulah sebabnya ditemukan kesaksian dari pernyataan Abu Hurairah: Ibn Umar telah memiliki tulisan hadits, namun saya belum mulai menulisnya. Sebagian sahabat mengangkat juru tulis seperrti yang dilakukan oleh Abu Hurairah yang mengangkat Hammam sebagai sekretaris pribadinya.
Dan tentunya tidak semua hadist mereka tulis, melainkan hadist-hadist yang di pandang terlalu panjang dan spesifik. Itulah sebabnya ketika Abu bakar menginstruksikan untuk memerangi kaum murtad, umar menginterupsikannya: menurut catatan saya, Nabi diperintah untuk memerangi umat sampai mereka berikrar tiada tuhan selain Allah. Apabila mereka telah mengatakannya maka terjagalah darahnya, hartanya dan harga dirinya. Maka Abu Bakar berkomentar: catatan anda belum sempurna, kelanjutannya adalah: kecuali dengan haknya.
Hadits yang panjang-panjang pun selalu ditulis oleh para sahabat, seperti hadits tentang ketentuan zakat yang hendak dikirim kepada Abu musa al-As’ari yang yang pada waktu itu didelegasikan oleh Nabi ke yaman, memohon agar ketentuan zakat itu dituliskan. Maka sebelum tulisan hadits zakat itu dikirim ke yaman oleh umar dinukil kembali untuk diarsip terlebih dahulu sehingga Umar ibn Khattab dikenal dengan bapak pengarsipan dokumen.
Disamping itu pola dakwah Rasulullah diakhir hayatnya berubah, tidak lagi menggunakan oral (lisan) sebagai medianya, melainkan berganti pola tulisan. Hal ini terbukti ajakannRasulullah menuju keislaman kepada penguasa Romawi, Illayah, bizantium, persia, Najazi dan lainnya. Atas usulan Abu Sufyan, maka surat-surat itu diberi stempel. Maka Nabi pun minta dibuatkan stempel (khatam).
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadist tersebar secara terbatas. Bahkan pada masa itu, Umar melarang para Sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan Hadist dan sebaliknya, Umar menekankan agar para Sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluakan Al-Qur’an.[5]
Dalam praktiknya ada dua cara meriwayatkan pada masa Sahabat tersebut :
1.      Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka terima langsung dan mereka hafal benar dari Nabi SAW.
2.      Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafadz asli dari Nabi SAW.[6]
Pendek kata, setelah para Sahabat mulai pandai soal tulis menulis, dan dapat membedakan antara firman Allah dengan sanda Nabi, maka gerakan penulisan begitu marak, sehingga pada akhirnya Nabi berwasiat: Saya tinggalkan dua tumpukan tulisan ini, yakni tumpukan tulisan Al-Qur’an dan Hadist. Sekali lagi, pada wilayah kodifikasinya secara resmi yang berbeda. Apabila kodifikasi berupa mushaf, memang baru terjadi pada masa khalifah Abu bakar, namun kodifikasi hadits yang resmi menurut pendapat yang mashur tterjadi pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz (99-102 H)
Meskipun secara khusus hadits belum mendapatkan perhatian yang serius, namun kegiatan periwayatan hadits sudah mulai berkembang meskipun dengan jumlah yang sedikit. Hal ini karena Abu Bakar, Umar juga 2 khalifah terakhir sangat berhati-hati dalam menerima periwayatan sahabat lain, termasuk periwayatan dari Abu Hurairah yang dalam hal periwayatan Hadits dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Sikap hati-hati ini dilakukan untuk mencegah banyak beredarnya hadits palsu unutk kepentingan tertentu yang terjadi, khususnya pada saat mulai terjadinya friksi dalam tubuh Islam, sejak tahun ke tujuh pada pemerintahan khalifah Utsman ibn Affan. Dengan demikian jumlah periwayatan hadits pada masa sahabat masih sangat sedikit, meskipun tergolong banyak apabila dibandingkan dengan jumlah penulisan hadits pada periode Nabi saw. Dapat dikatakan bahwa hadits dalam periodeini adalah membatasi periwayatannya.
 Maka harus dibedakan, antara konsep al- Khitabah atau penulisan, dan konsep al- Tadwin atau kodifikasi. Pada refrensi  barat tampaknya tidak memilah kedua hal tersebut, terkesan hadits baru ditulis (padahal dikodifikasi) baru abad kedua. Ini kesalahan yang fatal karena kodifikasi yang resmi pada akhir abad pertama atau awal abad kedua (99-102), bukan setelah dua ratus tahun.
2.3    Hadist Pada Masa Kodifikasi
Seiring dengan program Khalifah Umar Ibn Khottob meluaskan peta dakwah Islam, membuat pera Sahabat terpencar ke berbagai wilayah. Dan maraka para Sahabat telah mempunyai pegangan hadist baik berupa tulisan maupun hafalan ke tempat penugasan masing-masing. Sehingga di berbagai wilayah bermunculan Islamic Centre sebagai pusat kajian Al-Qur’an dan Hadist.
Pasca wafatnya Uamar Bin Khattab, kebijakan itu di lanjutkan oleh Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, sehingga untuk menguasai hadist-hadist Nabi pada waktu itu tidaklah mudah. Seseorang harus melakukan rihlah dari berbagai wilayah untuk menemui para Sahabat dan kader-kadernya.
Pada masa inilah lahir Ulama’ Madzhab, sehingga bukan mustahil saat di tanya suatu persoalan , mereka belum menemukan hadist yang spesifik, dan ahirnya memberikan jawaban dengan pendekatan ijtihad murni yang konsekwensinya bisa benar dan bisa salah. Dan seperti yang kita tau jika pengkodifikasian muskhaf itu pada masa Khalifah Abu Bakar maka pengkodifikasian hadist itu terealisasikan pada masa Umar bin Abdul Aziz.
Dan pada waktu itu di bawah kekuasaan Umar bin Abdul Aziz, beliau meresa perlu untuk membukukan hadist dikarnakan para Sahabat (sisa Sahabta yang masih hidup) mulai terpencar di berbagai wilayah kekuasaan Islam, dan tidak sedikit yang meninggal dunia. Keadaan ini membuat Khalifa Umar bin Abdul Aziz tergerak untuk membukukan hadist.[7]
Untuk merealisasikan kenyataan di atas, Khalifah menyuruh atau mengintruksikan kepada gubernur Madinah ya’ni Abu Bakar bin Muhammad untuk mengumpulkan hadist apa adanya. Khalifah juga mengirim surat-suratnya keseluruh wilayah Islam supaya berusaha membukukan hadist yang ada pada ulama’ yang berdomisili di wilayah masing-masing. Diantara ulama’ besar yang membukukan hadist atas kemauan Khalifah itu adalah Ibn Sihab al-Zuhri. Itulah sebabnya para ahli sejarah menganggap Ibn Sihab sebagi orang pertama mendiwankan hadist secar resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul  Aziz.[8] Dan intrusi Umar inilah ahirnya di lanjutkan oleh ulama’ hadist yang lain.
Munculnya tradisi perlawatan-perlawatan untuk mencari hadist ini sangat penting, artinya, sebab pada masa itu sujdah mulai banyak beredar hadist palsu. Dengan demikian, pencarian yang di lakukan bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan hadist, tetapi  juaga sekaligus untuk menghindari terjadinya hadist palsu yang di riwayatkan oleh orang yang tidak bertanggung;jawab. Dengan pencarian ini pula, satu riwayat di cocokan validitasnya dengan riwayat yang lain sehingga dapat di ketahui mana hadits yang betul-betul datangnya dari Nabi SAW. Dan mana yang bukan. Konfirmasi riwayat setidaknay berhasil untuk meminimalisir upaya terjadinya pemalsuan hadist.
2.4  Hadist Pada Masa Pasca Kodifikasi        
Suatu hal yang perlu dicatat dari upaya pembukuan hadits tahap awal adalah masih tercampurnya antara hadits Nabi saw dengan berbagai fatwa sahabat dan tabi’in . hanya catatan ibn Hazm yang secara lkhusus menghimpun hadits Nabi saw. Karena khalifah Umar ibn ‘Abdul Aziz mennginstruksikan kepadanya untuk hanya menulis hadits. Hanya saja, sangat disayangkan bahwa manuskrip Ibn Hazm tersebut tidak sampai kepada generasi sekarang. Namun demikian, pada masa ini pula lahir ulama’ hadits kenamaan seperti imam malik, sufyan al-tsauri, al- Auza’iy, al- safi’i dan lainnya. Kitab-kitab hadits yang terkenal pada abad ini diantaranya adalah: muwatta’ karya imam malik, musnad dan mukhatalif hadits karya al syafi’i. Kitab-kitab ini terus menjadi bahan kajian sampai sekarang.
Pada permulaan abad ke 3H, para ulama’ berusaha untuk memilah atau menyisihkan antara hadist dengan fatwa sahabat atau tabi’in. Oleh akrna itu para ulama’ banyak yang menyusun kitab-kitab musnad yang ebas dari fatwa para sahabat dan tabi’in.
Meskipun demikian, upaya untuk membukukan sebuah hadist dalam kibab musnad ini bukan tanpa kelemahan. Salah satu kelemahan yang di dapat di ungkap adalh belum di sisihkannya hadis-hadist, termasuk hadist palsu yang sengaja di sisipkan untuk kepentingan-kepentingan golongan tertentu.
Melihat kelemahan di atas ulama’ hadist tergerak untuk menyelamatkan hadist dengan membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat menilai kesahihan suatu hadist.Dengan pembuatan kaidah-kaidah tersebut maka muncullah yang di sebut ilmu dirayah dan ilmu riwayah hadist. Dan sebagai konsekwensinya dari upaya pemilahan hadist sahih, hasan, dhaif dan palsu tersebut, maka di susunlah kitab-kitab himpunan khusus hadist sahih dan kitab-kitab al-Sunan.
Abad ke 3H ini lazim disebut dengan abad atau periodesasi seleksi dan penyusunan kaidah serta syarat periwayatan hadist yang melahirkan sejumlah karya monumental dalam bidang hadist, seperti shahih Al-Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Turmudzi, Sunan An-Nasa’i dan lainnya.
Hal ini yang patut di cermati dari perkembangan study hadist pada abad ini adalah mulai berkembangnya ilmu kritik terhadap para perawi hadist yang di sebut ilmu jahr wa ta’dil. Dengan ilmu ini maka dapat di ketahui siapa perawi yang dapat di terima riwayatnya dan siapa yang di tolak.
Adapun tokoh-tokoh yang lahir pada abad ini di antaranya :
1.      Ali Ibn Al-Madani
2.      Abu Hatim Al-Razi
3.      Muhammad Ibn Jarir At-Tabari
4.      Muhammad Ibn Sa’ad
5.      Ishaq Ibn Rawakhih
6.      Ahmad
7.      Al-Bukhori
8.      Abu Dawud
9.      Al-Turmudzi
10.  Ibn Majah dan
11.  Ibn Qutaibah Al-Dainuri
Sedangkan kitab-kitab yang muncul pada abad ini diantaranya adalah Al-Kutub Sittah (kiatb enam yang pokok) yaitu: Sahih Al-Bukhori, Sahih Muslim, Sunan Al-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Turmudzi, dan Sunan Ibn Majah.
Kalau pada aad pertama, kedua dan ketiga hadits berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan dan penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, maka hadits yang telah dibukukuan oleh para ulama’ mutaqaddimin tersebut mengalami sasaran baru yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama’ muta’akhkhirin. Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits sehingga tidak mengherankan apabila sebagian diantara mereka mampu menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits seperti al-hakim, al-hafidz dan sebagainya.[9]
Pada abad selanjutnya merupakan abad pemisah antara periode ulama’ mutaqaddimin dengan ulama’ muta’akhkhirin ini melahirkan sejumlah kitab-kitab hadits opuler. Diantaranya adalah : mu’jam al- kabir, mu’jam al-Ausat, mu’jam al-shaghir (karya thabrani), sunan al- Daraqutniy, shahih anu ‘uwanah, dan shahih ibn khuzaymah. Secara kongkret, Hasbi ash-shiddiqiey menyebutkan abad ini sebagai abad tahdzib, istidrak, istikhraj, menyusun jawami’, zawaid dan athraf.[10]
Usaha ulama’ pada abad selanjutnya sampai sekarang adalah pengklasifikasian hadist-hadist yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab. Kemudian di lanjutkan dengan menyusun ma’ajim hadist untuk mengetahui dari kitab apa sebuah hadist itu di temukan. Misalnya kitab Al-Jami’ As-Saghirfi Ahadist Al-Basyir Al-Nadzir karya Al-Suyuti. Kitab itu di susun memuat hadist-hadist yang terdapat dalam kitab Al-Kutub As-Sittah dan kitab hadist lainnya. Kedua kitab Dakhoir Al-Mawaris fi Al-Dalalah ‘ala Mawad Al-Ahadist karya Al-Maqdisi. Didalamnaya terkumpul kitab atraf tujuh ulama’ yaitu Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Sunan empat dan Muwatto’ Imam Malik. Dan masih banyak lagi kitab-kitab index kecil yang lain.
Adapun kegiatan ulama’ selanjutnya ialah memberi pensyarahan dan peringkasan juga melahirkan kamus-kamus khusus kajian hadist yang tertuang dalam salah satu di siplin keilmuan yang biasa di sebut ilmu Gharibil hadist.denagn demikian kajian hadist telah ,eli[uti berbagai aspek, dari sisi sanad sampai kepada matan hadist.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pentingnya untuk mengetahui lebih dalam mengenai sejarah perkembangan hadist adalah suatu yang menjadi fardhu kifayah hukumnya, di karnakan hadist adalah sumber poko’ ajaran agama islam yang ke dua setelah Al-Qur’an. Pada mulanya Nabi memang melarang untuk menulis hadist di karnakan rasa khawatir akan bercampurnya hadist dengan Al-Qur’an. Tapi setelah itu Nabi pun mengizinkannya. Adapun periode-periode sejarah perkembangan hadist itu dapat di bagi menjadi beberapa bagian yakni:
1.      Perkembangan hadist pada masa Rosulallah
2.      Perkembangan hadist pada masa Sahabat dan Khilafah Ar-Rosyidun
(11 H-40 H)
3.      Perkembangan pada masa Sahabat kecil dan Tabi’in
4.      Perkembangan hadist pada Abad II dan III Hijriah
5.      Masa men-tashih-kan hadist dan penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Dan dari periode-periode tersebut hadist mulai mengalami fase-fase perkembangan. Abad pertama kedua dan ketiga hadist berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan dan penyaringan dari fatwa-fatwa para Sahabat dan Tabi’in, maka pada periode selanjutnya perkembangan hadist mulai mengalami sasaran baru, yakni di hafal dan di selidiki sanadnya oleh para Ulama’Muta’akhirin (Ulama’ abad ke 4 dan seterusnya). Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadist. Sehingga  pada periode inilah muncul berbagai macam gelar keahlian dalam ilmu hadist seperti Al-Hakim, Al-Hafidz, dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA
Drs. M. Agus Solahuddin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag. 2008. Ulumul Hadist, Bandung: Pustaka Setia,
Fatchurrahman. 1987. Ikhtishar Musthalahul Haadist. Bandung: Al-Ma’arif
Khafib, Muhammad ‘Ajjaj al-. 1989. Ushul al- hadith ‘Ulumuh wa Mustalahuh. Beirut: Dar al- Fikr.
Shalih, Subhi. 1988. ‘Ulum al- Hadith wa Mustalahuh. Beirut: Dar al- ‘Iim-Malayin
Tim penyusun MKDP. 2011. Studi Hadits. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press
Zainuddin, dkk. 2013. Studi Hadit.  Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press



[1] Tim MKDP.Studi Hadits (surabaya:2011) halm. 81
[2]. Barmawi Umarie. Status Hadist sebagi Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Syamsiah. 1965. Hlm.13.
[3] Ajjaj al- Khatib, al- Sunnah qabl al-Tadwin (Kairo: Maktabah Wahbah, 1963)
[4] Ibid 37-445
[5]. Ash-Shiddieqy. hal.62.
[6]. Ibid. Hlm. 63.
[7] . Rahman, ihtishar,34.
[8] . As-Shiddieqy,sejarah,79,: Rahman, ikhtisyar,35.
[9] Rahman, Ikhtisar, 40
[10] Lihat ash-shiddiqiy, sejarah 114

0 komentar :

Posting Komentar