PEMBAHASAN
SURAT AL-FAATIHAH
A.
Muqaddimah
Surat “Al-Faatihah” (Pembuka) yang
diturunkan di mekah dan terdiri dari 7 ayat adalah surat yang pertama-tama
diturunkan dengan lengkap diatara surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an dan
termasuk dalam golongan surat makkiyah.
Surat ini disebut “Al-Faatihah”
(Pembuka), karena dengan surat inilah dibuka dan dimulainya Al-Qur’an.
Dinamakan “Ummul Qur’an” (induk Al-Qur’an) atau “Ummul Kitab” (induk Al Kitab)
karena dia merupakan induk bagi semua isi Al-Qur’an, serta menjadi inti sari
dari kandungan Al-Qur’an, dan karena itu diwajibkan membacanya pada tiap-tiap
shalat. Dinamakan pula “As Sab’ul matsaany” (tujuh yang berulang-ulang) karena
ayatnya tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam shalat.
Surat Al-Faatihah mengandung beberapa
unsur pokok yang mencerminkan seluruh isi Al-Qur’an, yaitu:
1.
Keimanan:
Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa terdapat pada ayat 2, dimana
dinyatakan dengan tegas bahwa segala puji dan ucapan syukur atas sesuatu ni’mat
itu bagi Allah, karena Allah adalah pencipta dan sumber segala ni’mat yang
terdapat dalam alam ini.
Diantara ni’mat itu ialah: ni’mat
menciptakan, ni’mat mendidik dan menumbuhkan, sebab kata “rab” dalam kata
“rabbul-‘aalamiin” tidak hanya berarti “ Tuhan” dan “penguasa”, tetapi juga
mengandung arti tarbiyahyaitu mendidik dan menumbuhkan. Hal ini menunjukkan
bahwa segala ni’mat yang dilihat oleh seorang dalam dirinya sendiri dan segala
alam ini bersumber dari Allah, karena Tuhan- lah Yang Maha Berkuasa di alam
ini. Pendidikan, penjagaan dan penumbuhan oleh Allah di alam ini haruslah
diperhatikan dan dipikirkan oleh manusia sedalam-dalamnya sehingga menjadi sumber
berbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat menambah keyakinan manusia kepada
keagungan dan kemuliaan Allah, serta berguna bagi masyarakat. Oleh karena
keimanan (ketauhidan) itu merupakan masalah yang pokok, maka didalam surat
Al-Faatihah tidak cukup dinyatakan
isyarat saja, tetapi ditegaskan dan dilengkapi oleh ayat 5, yaitu: “Iyyaaka
na’budu wa iyyaaka nasta’iin” (hanya engkaulah yang kami sembah, dan hanya
kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan). Yang dimaksud dengan “ yang
menguasai hari pembalasan” ialah pada hari itu Allah-lah Yang berkuasa segala
sesuatu tunduk kepada kebesaran-Nya sambil mengharap ni’mat dan takut kepada
siksa-Nya.
Hal ini mengandung arti janji untuk memberi pahala terhadap
perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk. “ ibadat” yang
terdapat pada ayat 5 semata-mata ditunjukkan kepada Allah selanjutnya lihat no
6.
2.
Hukum-hukum:
Jalan kebahagiaan dan bagaimana seharusnya menempuh jalan itu untuk
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maksudnya “hidayah” disini adalah
hidayah yang menjadi sebab dapatnya keselamatan, kebahagiaan dunia dan akhirat,
baik yang mengenai kepercayaan maupun akhlak, hukum-hukum dan pelajaran.
3.
Kisah-kisah:
Kisah para Nabi dan kisah orang-orang terdahulu yang menentang
Allah. Sebagian besar dari ayat-ayat Al-Qur’an memuat kisah-kisah para Nabi dan kisah orang-orang terdahulu yang
menentang Allah. Yang dimaksud dengan orang yang diberi ni’mat dalam ayat ini,
ialah para Nabi, para shiddieqiin (orang-oranng yang sungguh-sungguh beriman) syuhadaa
(orang-orang yang mati syahid), shalihiin (orang-orang yang saleh).
“orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat”, ialah orang
yang menyimpang dari ajaran Islam.
B. Nama Lain
Surat Al Fatihah
Surat Al Fatihah memiliki banyak nama. Di antaranya;
Fatihatul Kitab (pembuka kitab/Al Qur’an). Karena Al Qur’an, secara penulisan
dibuka dengan surat ini. Demikian pula dalam shalat, Al Fatihah sebagai pembuka
dari surat-surat lainnya. Al Fatihah dikenal juga dengan sebutan As Sab’ul
Matsani (tujuh yang diulang-ulang). Disebabkan surat ini dibaca berulang-ulang
pada setiap raka’at dalam shalat. Dinamakan juga dengan Ummul Kitab. Karena di
dalamnya mencakup pokok-pokok Al Qur’an, seperti aqidah dan ibadah. Menurut
al-Qurtubhi surat al-Fatihah memiliki 12 nama, yakni al-salah (salat, doa),
fatihatul kitab (induk alkitab), ummul kitab (induk al-Quran), al-matsani
(berulang-ulang), al-quranul ‘azhim (al-Quran yang agung), asy-syifa (penawar,
obat, penyembuh), ar-ruqyah (rukyah), al-asas (fondasi), al-wafiyah (yang
menyeluruh, komprehensif), al-kafiyah (yang sempurna) dan al-fatihah (pembuka).
C. Asbabun
Nuzul (Sebab-sebab turunnya) surat Al-Fatihah
Sebagaimana diriwatkan oleh Ali bin Abi Tholib mantu
Rosulullah Muhammad saw: “Surat al-Fatihah turun di Mekah dari perbendaharaan
di bawah ‘arsy’” Riwayat lain menyatakan, Amr bin Shalih bertutur kepada kami:“Ayahku bertutur kepadaku, dari al-Kalbi, dari Abu
Salih, dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Nabi berdiri di Mekah, lalu beliau
membaca, Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Kemudian orang-orang Quraisy
mengatakan, “Semoga Allah menghancurkan mulutmu (atau kalimat senada).”
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rosulullah saw. bersabda saat Ubai bin Ka’ab
membacakan Ummul Quran pada beliau, “Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
Allah tidak menurunkan semisal surat ini di dalam Taurat, Injil, Zabur dan
al-Quran. Sesungguhnya surat ini adalah as-sab’ul matsani (tujuh kalimat
pujian) dan al-Quran al-’Azhim yang diberikan kepadaku.”
D.
Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama:
Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak
ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari
dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam
sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak
membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR.
Muslim) Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits
tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para
imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta
mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat
adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id
Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah
surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka
beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir
keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku
akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau
bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al
Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam
shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari,
dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
E.
Konten Surat Al-Faatihaah
Berbicara tentang konten surat
Al-Fatihah yang menjadi semacam daftar isi bagi keseluruhan ajaran Al-Quran,
maka sangat tepat ungkapan Az-Zamakhsyari dalam kitabnya, Al-Kasyaf bahwasanya:
Al-fatihah sebagai Ummul Kitab adalah surat yang menjadi semacam
miniatur dari Al-Quran. Pendapat ini didasarkan -pada penelitian dengan cermat-
bahwasanya konten dari surat ini adalah: Pujian kepada Allah SWT, Ibadah, Amar
ma’ruf nahi munkar, Janji Allah kepada orang-orang yang taat kepada-Nya dan
ancaman-Nya kepada orang-orang yang durhaka. Dan dalam kenyataannya, seluruh
topik Al-Quran pasti selalu berhubungan dengan salah satu -bahkan bisa lebih-
dari Ke-empat topik dari konten surat Al-Fatihah di atas.
Sebagaimana Az-Zamaksyari yang berpendapat bahwa topik pembahasan
surat Al-Fatihah ada empat macam, Ar-Rozi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghoib
juga membaginya menjadi empat, walaupun terdapat sedikit perbedaan dalam
perinciannya. Empat topik yang dikemukakan Ar-Rozi adalah :
Ketuhanan.
Artinya Allah adalah Dzat yang menciptakan dan merawat alam semesta serta Dzat
yang wajib disembah.
Qodho’
dan Qodar. Artinya seluruh perbuatan makhluk adalah berdasarkan pada ketentuan
dan ketetapan Allah pada zaman azali.
Hari
pembalasan. Artinya Allah SWT adalah Dzat yang merajai hari pembalasan. Hari,
yang seluruh manusia harus mempertanggung-jawabkan seluruh amal perbuatannya di
hadapan Tuhannya.
Kenabian.
Artinya Al-Fatihah sebagai miniatur Al-Quran adalah surat yang juga menjelaskan
tentang siroh dan dakwah para nabi-nabi terdahulu beserta sikap umatnya, baik
yang taat atau yang durhaka.
Maka menarik untuk disimak pada kesimpulan, “kenapa Al-Fatihah yang
menjadi surat pertama dalam tartib (urutan) surat Al-Quran” pernyataan At-Thibi
sebagaimana dikutip oleh Imam As-Suyuti dalam kitabnya, Asroru Tartibi Suwar
Al-Quran bahwasanya.
F.
Makna Surat Al-Faatihah
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut
seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan
peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah
memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah
milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki
(Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh
hafizhahullah). Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi
dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh
ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara
sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki
kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu.
Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba
yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah
orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan
mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa
dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat
yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Makna Ayat
Pertama
الْحَمْدُ للّهِ
رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji
bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna
Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan
juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat
memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa
mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan
semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan
dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan
rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna
dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara).
Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk
tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka,
memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk
tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat.
Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan
pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga
memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan
mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan
menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka
dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka
berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat. Dari
sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul
‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya
pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua
makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua
meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya.
Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang
mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat
Kedua
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman
dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal
Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman, “Milik
Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan
menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180).
Setiap
nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan
sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada
Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin
terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3)
Ahlusunnah wal Jama’ah. Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan
sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi
penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga
terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang
yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi
penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di
tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat
sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka
selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan
Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi
tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam
dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan
dalam ayat yang mulia yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11)
(silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu
ta’ala).
Allah
Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan
Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya
sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna
sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat
makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri
makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu
sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang
tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya
telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak
mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat
yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah
ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai
diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah
(kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih
sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ
Artinya:
“Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik
adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk
memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga
yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka.
Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah
kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca
Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik
maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid
diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu
seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka
kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi
manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak
sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat
itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun
dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu
semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka
semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan
pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala
kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan
hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari
pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan.
Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah
tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir
Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat
Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu
lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya:
“Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di
dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya
adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek
kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan
pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh
menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami
menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu
dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu. Ibadah adalah segala sesuatu
yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun
perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan
dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya.
Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya.
Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak
cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di
antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan
atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau
meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah.
Makna Ayat
Kelima
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ
المُستَقِيمَ
Artinya:
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya:
“Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti
shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang
terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai
kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal
mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya
Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di
atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya
bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya.
Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan
mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan
salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan
manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib
memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak
lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat
Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat
Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu
jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.” Siapakah
orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan
bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar,
para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam
cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi
anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa
saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia
juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan
meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan
mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala.
Makna Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ
عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan
jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang
tersesat.” Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran
akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan
semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan
kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka.
0 komentar :
Posting Komentar